Sepi yang Tidak Terlihat di Tengah Hiruk Pikuk
Rasanya, seingatku, dulu aku bisa duduk mengobrol berjam-jam—beramai-ramai di teras asrama pesantren atau balkon kosan. Bahkan dengan posisi berbaring menjelang tidur, saat kantuk tak kunjung datang, obrolan tetap mengalir.
Sekarang, pendengar setia obrolan harianku hanya empat orang terdekat: suami dan anak-anakku. Dekat secara emosional, dan juga secara jarak.
Suamiku, dengan segala kesibukannya di luar rumah sejak pagi hingga petang, tetap menjadi telinga utama yang kurecoki dengan berbagai cerita. Tentang anak-anak, cerita acak dari media sosial, keresahanku dalam sehari, bahkan komentar netizen di reels random yang mengundang gelak tawa.
Ia mendengarkan ucapanku yang sering kali dihiasi printilan emosi yang datang dan pergi. Meski mungkin tak banyak yang ia ingat, entah bagaimana hati terasa tenang. Ia seperti kotak tempat semua cerita disimpan, sahabat setia yang menampung segala rahasia sejak aku kecil, tumbuh dewasa, hingga kini menjadi ibu beranak tiga.
Kesibukan rumah tangga membuatku lebih banyak berfokus ke dalam. Meski tidak selalu lelah secara fisik, aku merasa lebih nyaman duduk sendiri, mengamati gawai saat rumah sedang sepi. Ada rasa lelah yang tak mudah dijelaskan setiap kali harus berinteraksi dengan banyak orang selama berjam-jam.
Aku lebih nyaman berbincang dalam kepala, merefleksikan pikiran, menenggelamkan diri dalam cerita film, buku, atau ide-ide yang melanglang buana.
Dulu, aku hanya mengenal satu jenis obrolan: perbincangan seru dengan kawan. Sekarang, obrolanku menjelma menjadi banyak rupa—jawaban atas pertanyaan anak-anak, omelan dengan oktaf tertentu, nasihat bijak, pendapat logis-religius, candaan garing yang tak lucu. Kadang bincang serius tentang sebuah persoalan, kadang curhatan absurd tentang hari yang terasa begitu panjang.
Lucu, kadang aku merasa sepi dalam riuh isi rumah. Kadang aku merasa kosong dalam padatnya perabot dan rindangnya tumpukan baju. Kadang aku merasa bungkam seperti sebuah pajangan dinding yang bisu.
Namun, inilah jalan yang kupilih—meski tak pernah kuduga bentuknya akan seperti ini. Jalan yang harus kujalani dengan ikhlas dan legowo. Dunia bukan hanya tentang memenuhi ego, tapi tentang bagaimana menyeimbangkan antara keinginan diri dan kemaslahatan orang-orang yang kini hidup bersamaku.
0 Response to "Sepi yang Tidak Terlihat di Tengah Hiruk Pikuk"
Post a Comment